Sabtu, 19 April 2008

puisi buat seseorang yg lama menugguku

adakah rasa itu

kadang aku ragu dengan perasaan hati
yang selalu menyelimutiku
dikala aku kesepian,dan disaat aku sendiri

mencintai dan dicintai adalah sebuah anugrah yang ternilai
dan aku merasakan itu karena engkau telah hadir didalam kehidupanku

sayang,bila saatnya nanti tiba
aku ingin keraguan dari perasaan ini bisa terjawab
dan semua yang kita inginkan,impikan bisa terwujud!

"seperti bintang yang setia menemani malam "

itulah yang bisa aku ucapkan untukmu
karena aku menyanyangimu
karena akulah milikmu...dan kuberharap
semua perasaan ini dapat terbalas

engkaulah anugrah terindah untukku.............

kaledupa face











Orang Bajo merupakan salahsatu komunitas masyarakat yang ada di Wakatobi baik yang berdiam di Wangi Wangi yang lebih dikenal dengan Orang Bajo Mola ataupun Orang Bajo Sampela di Kaledupa. Sebagai nelayan tulen, lahan pencaharian orang bajo di manapun di dunia adalah laut. Dengan kata lain orang bajo seratus persen menggantungkan hidupnya dari laut.

Keberadaan orang bajo di Wakatobi khususnya di Kaledupa sejak dahulu diakui telah memberikan kontribusi yang besar terhadap masyarakat sekitar. Dengan adanya orang bajo, stok ikan dan hasil laut lainnya yang selama ini di konsumsi warga akan tetap terjamin. Meskipun diakui bahwa warga Kaledupa sendiri merupakan penangkap ikan yang handal. Akan tetapi mengingat bidang pekerjaan mereka yang lebih berorientasi ke darat, maka kebutuhan mereka akan ikan tetap disandarkan pada orang bajo sepenuhnya.
Nah karena sumber nafkah mereka adalah laut, orang Bajo Sampela sungguh memahami benar bagaimana membentuk hubungan yang harmonis dengan alammnya. Alam yang telah menyediakan nafkah yang berlimpah bagi mereka secara turun temurun.

Salah satu kawasan yang selama ini merupakan andalan bagi orang bajo khususnya komunitas Bajo Sampela untuk mencari nafkah adalah Kawasan Taman Nasional Wakatobi khususnya yang lebih spesifik lagi adalah Pulau Hoga. Sebagaimana diketahui bahwa Pulau Hoga termasuk kawasan yang telah dijaga ketat dari perambahan ekosistem laut termasuk dari orang bajo sendiri. Singkatnya, warga sekitar pulau itu dilarang keras mengambil ikan tertentu termasuk biota lainnya di taman nasional. Yang menarik, orang Bajo Sampela tidak mengaggap batasan tersebut sebagai matinya sumber nafkah mereka. Malahan adanya pembatasan seperti itu makin mengukuhkan terjaminnya mata pencaharian mereka untuk jangka panjang. Kenapa demikian ?.

Saat menyaksikan upacara ritual adat pelepasan lobster dan penyu hijau oleh etnis Bajo Sampela, saya merasa kagum luar biasa atas keyakinan orang orang bajo yang berhubungan dengan laut sebagai sumber nafkah mereka. Ritual adat tersebut dilakukan saat akan memasuki musim mencari ikan. Dengan ritual itu diharapkan hasil tangkapan akan melimpah, rezeki bertambah dan habitat laut tetap aman terjaga.
Dalam ritual yang dikenal dengan nama Tuba Dikatutuang tersebut orang bajo percaya bahwa laut adalah teman mereka, kawan yang harus diperlakukan secara wajar. Dengan demikian cara cara menangkap ikan dengan merusak habitatnya sangat tidak dibenarkan. Perlakukan semena-mena terhadap laut beserta isinya akan membuat murka penjaga laut atau dewa laut yang oleh orang Bajo Sampela disebut sebagai Sangia Mandilao.

Ritual adat pelepasan lobster dan penyu hijau atau Tuba Dikatutuang tersebut menunjukkan paling tidak dua hal:
Pertama : Hubungan orang bajo dengan laut setidaknya bagi Etnis Bajo Sampela merupakan hubungan simbiosis mutualisma. Keduanya saling membutuhkan dalam rangkaian siklus rantai makanan. Merusak habitat laut oleh karena itu dipastikan akan merusak siklus rantai makanan yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Kedua : Dalam hubungan itu pula orang bajo dengan bijak mengajarkan pada kita bahwa mengambil hasil laut haruslah dengan cara-cara yang ramah lingkungan misalnya menggunakan kail, pukat tradisional dan jala. Dalam tradisi itu, orang bajo dilarang keras mengambil biota laut yang belum cukup umur atau belum dewasa baik itu ikan, kerang-kerang, teripang, lobster maupun hasil laut lainnya.

Nah berangkat dari asumsi seperti itu, dapat dipastikan ekosistem laut dan terumbu karang yang selama ini dijaga dengan ketat di Pulau Hoga akan sejalan dengan tujuan pemerintah melindungi laut dari perambahan dan pengrusakan orang orang yang tidak bertanggungjawab yang bermotif ekonomi.
Oleh karenanya alangkah baiknya bila ritual semacam itu dilakukan secara berkala baik di Sampela maupun di koloni orang bajo lainnya di Sultra. Selain untuk tetap mengingatkan semua orang akan bahaya hancurnya ekosistem laut, ritual semacam itu juga dapat ‘dijual’ untuk promosi wisata. Untuk etnis Bajo Sampela di Kaledupa hal tersebut sangat mungkin dilakukan mengingat keberadaan Pulau Hoga sebagai pusat terumbu karang dunia.